Dijawa terlebih dahulu. Cerita ini berawal dari seorang Raja yang
mempunyai dua orang murid. Raja ini bernama Prabu Aji Saka, dengan dua orang
muridnya bernama Duro dan Sembodro. Salah satu muridnya yang bernama Duro ditugaskan
oleh Prabu Aji Saka untuk menjaga pusaka kerajaan. Nama pusaka kerajaan
tersebut adalah Sarutama, dalam cerita Djawa berarti Hina tetapi utama
(Saru-Utama). Saat itu Prabu Aji Saka berpesan “Siapapun tidak dapat mengambil
Pusaka Sarutama, kecuali Prabu Aji Saka sendiri”. Pusaka Sarutama ini
dipercayakan kepada Duro. Prabu Aji Saka pada saat itu berangkat perang, namun
ditengah-tengan peperangan Prabu Aji Saka mengalami kesulitan. Sehingga Prabu
Aji Saka memerlukan pusaka Sarutama.
Prabu Aji Saka pun menugaskan Sembodro yang
mendampinginya di medan perang, untuk mengambil pusaka Sarutama di
kerajaan. Sembodro pun pulang kembali dengan maksud mengambil pusaka
Sarutama. Sesampainya kembali di kerajaan, Sembodro meminta Duro untuk
menyerahkan pusaka Sarutama kepadanya. Tetapi karena Duro sudah diberi
amanat oleh Prabu Aji Saka guru mereka untuk
tidak menyerahkan pusaka sarutama kepada siapapun kecuali kepada Prabu Aji
Saka, maka Duro menolak untuk menyerahkan pusaka saru tama tersebut. Sembodro
pun mendapat amanat untuk mengambil pusaka Sarutama tersebut. Akhirnya Sembodro
tetap memaksa Duro untuk mnyerahkan pusaka Sarutama tersebut. Karena sama-sama
mendapat amanat (pesan) dari Prabu Aji Saka, merekapun berusaha mejalankan
amanat masing-masing. Merekapun bertempur untuk menjalankan amanat mereka. Pertempuran
sesama murid kepercayaan Prabu Aji Saka ini berlangsung sengit. Hingga akhirnya
mererka mati (gugur) demi menjalankan amanat mereka dari Prabu Aji Saka.
Keadaan mereka disaat mati saling rangkul/pangku (mati sampyuh, Djawa).
Kita dapat mengambil inti sari makna dari cerita
di atas. Bahwa masyarakat Djawa memiliki sifat yang luhur, setia dan taat,
serta rela berkorban mati-matian demi mengemban amanat. Satu lagi sifat
masyarakat Djawa, masyarakat Djawa akan marah apabila kita memposisikan diri
kita di atas mereka. Tetapi mereka akan mati (luluh hatinya) kalau kita
memposisikan diri di bawah (dipangku) mereka. Itu mengapa akhirnya di dalam
aksara Djawa bila di akhir huruf dipangku akan mati.
Sekarang saya akan sedikit bercerita tentang
salah satu budaya Jawa. Beberapa waktu yang lalu saya sudah pernah
sedikit bercerita tentang budaya Jawa, yaitu penggunaan kata-kata untuk
melambangkan bilangan: Candra dan Surya Sengkala. Sekarang saya masih akan
bercerita tentang budaya Jawa yang masih ada kaitannya dengan tulis-menulis,
yaitu tentang sejarah huruf Jawa atau kadang disebut huruf Hanacaraka dan juga
makna filosofisnya.
Ada berbagai macam versi tentang riwayat huruf
Jawa tersebut, ada yang menyebutkan bahwa yang pertama mencetuskan (mau pakai
kata menciptakan ataupun menemukan rasanya tidak pas) huruf Jawa tersebut
adalah Sultan Agung Hanyokrokusumo dari kerajaan Mataram di Yogyakarta tetapi
ada juga yang menyebutkan kalau huruf Jawa sebenarnya dikenalkan oleh Aji
Saka.
Nah, tentang riwayat Aji Saka itu sendiri juga
ada beberapa versi karena ada yang mengatakan bahwa Aji Saka sebenarnya adalah
seorang ulama dari Mekkah (tidak tahu nama aslinya) dan ada juga yang
menyatakan bahwa Aji Saka adalah ksatria asli Jawa.
Karena kebanyakan orang menyatakan bahwa Aji
Saka-lah yang mengenalkan huruf Jawa pertama kali maka sekarang saya akan
menceritakan salah satu versi sejarah munculnya huruf Jawa yang lumayan
populer. Salah satu versi cerita menyatakan bahwa huruf Jawa tersebut
sebenarnya menceritakan bagian dari sepenggal kisah perjalanan Aji Saka. Huruf
Jawa tersebut menceritakan tentang kesetiaan dua orang pengikut Aji Saka.
Kira-kira secara garis besar ceritanya seperti ini (saya yakin ada
banyak versi lainnya):
Aji Saka adalah seorang pengembara yang terkenal
sebagai penakluk seorang raja penuh angkara murka, yaitu Prabu Dewata Cengkar.
Dalam mengembara Aji Saka senantiasa diikuti dua orang pengikut setianya.
Ketika pengembaraan pada suatu tempat Aji Saka meninggalkan senjata pusakanya
dan menyuruh salah seorang pengikutnya untuk menjaga senjata pusaka tersebut
(ada versi lain yang menyatakan bahwa Aji Saka pergi mengembara dan senjata
pusakanya ditinggalkan di keraton untuk dijaga salah seorang pengikutnya). Aji
Saka menyuruh sang abdi untuk menjaga senjata pusaka baik-baik dan tidak boleh
menyerahkan senjata pusaka tsb selain kepada Aji Saka sendiri.
Aji Saka kemudian melanjutkan pengembaraan
bersama seorang abdi yang lain hingga pada suatu tempat Aji Saka meminta
abdinya yang kedua untuk mengambil senjata pusakanya yang ditinggalkan.
Pergilah abdi yang kedua untuk mengambil pusaka, tetapi abdi pertama tidak
mau menyerahkan pusaka karena dia memegang teguh perintah Aji Saka
(hanya boleh menyerahkan pusaka kepada Aji Saka). Di lain pihak, abdi yang
kedua juga bersikeras untuk menunaikan tugas dari Aji Saka untuk
mengambil pusaka. Karena kedua orang abdi berusaha menjalankan tugasnya
masing-masing maka akhirnya terjadilah pertarungan yang cukup
seimbang yang mengakibatkan kematian kedua orang utusan tsb.
Sehingga akhirnya kisah
tersebut diabadikan dalam huruf Jawa sebagai berikut:
1
|
Ha Na
Ca Ra Ka
|
Hana
caraka
|
Ada
utusan
|
2
|
Da Da
Sa Wa La
|
Data
sawala
|
saling
berselisih
|
3
|
Pa Dha
Ja Ya NYa
|
Padha
jayanya
|
sama
kuatnya
|
4
|
Ma Ga
Ba THa NGa
|
Maga
bathanga
|
sama-sama
mati/ menjadi bathang (mayat)
|
Sedangkan 4 baris susunan Hanacaraka Carakan Jawa ini dimana masing-masing baris berisikan 5 aksara Jawa, apabila diuraikan baris per baris maka masing-masing memiliki makna filosofis mendalam dimana secara keseluruhan menggambarkan proses kehidupan manusia dari berupa noktah sel telur kemudian berkembang menjadi bayi lalu lahir tumbuh berkembang kemudian menjadi tua dan pada akhirnya meninggal. Berikut ini uraikan ringkas makna filosofis baris per baris ke 20 aksara Jawa tersebut
Hanacaraka
berarti adanya utusan manusia (Hana kong-kongan = Bahasa Jawa). Secara
filosofis diartikan sebagai adanya utusan dari Tuhan yang Maha Esa dua orang
utusan, seorang pria dan wanita.
Datasawala
berarti terjadi perselisihan atau peperangan (Padha Peperangan = Bahasa Jawa). Secara
filosofis diartikan sebagai timbulnya perpecahan diantara ke dua utusan
tersebut.
Padajayanya
berarti mereka sama-sama saktinya (Padha Digdayane = Bahasa Jawa) Secara
filosofis diartikan bahwasanya kedua jenis manusia tersebut (pria dan wanita)
dalam menjalani kehidupan sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing namun bisa saling melengkapi satu sama lainnya.
Magabathanga
berarti tak ada yang menang dan tak ada yang kalah, keduanya sama-sama
meninggal (Sampyuh = Bahasa Jawa) Secara filosofis diartikan pada akhirnya
kedua jenis manusia tersebut (pria dan wanita) akan meninggal dan menjadi
sesuatu yang tiada berguna namun demikian usaha dan upaya yang telah dilakukan
selama mereka hidup hanya memberikan kepuasan keduniawian semata.